Biografi singkat Buya Hamka
BIOGRAFI SINGKAT BUYA HAMKA
A.Kelahiran,Orang tua,dan Keluarga.
Beliau bernama asli Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, yang masyhur dipanggil Buya Hamka, Hamka adalah singkatan dari nama beliau tersebut, sedangkan Buya adalah panggilan kehormatan untuk seorang yang berilmu dan dituakan (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] .Ia adalah anak pertama, dengan tiga orang adik, dari pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Ayahnya sering bepergian untuk kegiatan dakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padangpanjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakaknya.Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Walaupun ayahnya adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima km dari Bukittinggi.
Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita. Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit. Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Rahmah masih berusia 15 tahun. Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Rahmah meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada Agustus 1973.Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. mewarisi bakat berbisnis.
.Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya Buya Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.
B.Pendidikan dan Ketrampilan hidup
Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.
Pada Juli 1924, Malik memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Quran. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Cokroaminoto.Setelah kurang lebih 6 bulan di Yogyakarta lantas beliau pergi ke Pekalongan untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
C.Perjuangan dan Pengabdian Pada Agama dan Bangsa
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinya pindah ke Padangpanjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Padangpanjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah. Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci.Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in untuk Sumatera, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatera Timur Letnan Jendral T. Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali perananya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatera Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatera Barat pada 12 Agustus 1947. Hamka ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu Khatib Sulaiman, Rasuna Said dan Karim Halim, FPN di Sumatera Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam menanggapi banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Dianggap sebagai bentuk toleransi, sebagaimana dicatat oleh Hamka, "kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu [sic], semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia mencatat, Hamka menyebut kebiasaan itu bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik.kemudian beliau mengundurkan diri dari MUI karena hal tersebut.
D.Prestasi dan Peniggalan
Sebagai ulama besar, Hamka tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Hamka pernah diberi kepercayaan untuk menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama. Kedudukan ini pada gilirannya membuka peluang baginya untuk mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di berbagai negara mewakili Indonesia, seperti memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), sebagai anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953), menghadiri peringatan mengkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar (Kebayoran Baru), menghadiri konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), muktamar masjid di Makkah (1976), menghadiri seminar tentang islam dan peradaban di Kualalumpur, upacara seratus tahun Muhammad Iqbal di Labore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977). Di samping itu, pada 27 Juli 1975 pada saat diadakan musyawaroh alim ulama seluruh Indonesia, dimana disepakati dibentuknya Majlis Ulama Indonesia, Hamka dipilih dan dilantik sebagai ketua. Besarnya prestasi dan peranan Hamka dalam melaksanakan dakwah Islamiyah di Indonesia, menarik akademisi untuk memberikan penghargaan kepada Hamka. Pada tahun 1959 Majlis Tinggi Universitas al-Azhar Kairo memberikan penghargaan gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa) kepada Hamka, karena jasanya dalam menyiarkan agama Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia yang indah. Dan pada tahun 1974, Hamka juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra dari Universitas di Malasyia.
Karya-karya Hamka dalam bidang Satra
a) Di bawah lindungan ka’bah (1937).
b) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938).
c) Merantau Ke Delhi (1939).
d) Di dalam lembah kehidupan.
2. Karya-karya Hamka dalam bidang keagamaan islam.
a) Pedoman Muballig Islam (1937).
b) Agama dan Perempuan (1939)
c) Kedudukan Perempuan dalam Islam. Buku ini pertama sekali diterbitkan pada tahun 1973.
d) Tafsir al-Azhar Juz I-XXX.
e) Studi Islam (1982).
f) Sejarah Umat Islam Jilid I-IV (1951).
g) Tasawuf Modern.
h) Falsafah Hidup (1940).
i) Ayahku (1950).
j) Filsafat Ketuhanan.
k) Kenang-kenangan Hidup jilid I-IV(1951).
3. Karya-karya Hamka dalam bidang pendidikan
a) Lembaga budi (1939).
b) Lembaga Hidup (1941).
c) Pendidikan Agama Islam (1956).
d) Akhlaqul Karimah (1989).
Komentar
Posting Komentar