Tafsir Al azhar



                                TAFSIR AL-AZHAR

A Sejarah Penulisan
     Telah kita ketahui bahwasanya  Buya Hamka di Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya manumental dari seluruh karyanya. Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakrta sejak tahun 1959. Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan masjid al-Azhar. Dalam waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad (Mentri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat ketua Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji  Masyarakat” yang menitik beratkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Agama Islam.
Kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.
Suasana bertambah tak menentu ketika majalah ini dibredel pada penerbitan No. 22. 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat tulisan Dr. Muhammad Hatta yang berjudul “ Demokrasi Kita”. Tulisan ini memuat kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah Panji Masyarakat baru mulai terbit kembali ketika Orde Lama tumbang pada tahun 1967, dan jabatan pimpinan ketika itu masih dipegang oleh Hamka.
Sebagaimana kondisi yang dijelaskan di atas, izin penerbitan Majalah Panji Masyarakatpun dicabut. Pendiskreditan terhadap Hamkapun bertambah meningkat, sehingga dengan bantuan Jenderel Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi pada waktu itu menerbitkan majalah Gama Islam. Peranan Hamka dalam majalah ini sangat aktif meskipun sebenarnya Dalam struktur kepengurusan secara formal majalah ini dipimpin  oleh Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi. Ceramah-cerama Hamka disetiap sehabis Sholat Shubuh secara teratur dimuat dalam majalah tersebut, namun penerbitan tersebut berlangsung sampai pada bulam Januari 1964.
Penerbitan ceramah-seramah  Buya Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit al-Azhar.
Kondisi kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak lama setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya dibawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.
Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.

B.Karakteristik Penulisan
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik-baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari orang terdahulu berarti hanya suatu “Textbox thinking”. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal sendiri besar bahanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan menjauh dari maksud agama.
        Mazhab yang dianut oleh beliau adalah mazhab salaf, yaitu mazhab Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran ( fiqhi), Buya Hamka tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti, dan meninggalkan mana yana jauh menyimpang.
C.Metode dan Corak Penafsiran
   1. Metode Penafsiran
Metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf.Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turunya ayat, hubungan dengan ayat lain (munasabah), dan dengan disertakan pendapat pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainya.
     2.Corak penafsiran
Corak yang dikedepankan oleh  Buya Hamka dalam Al-Azhar adalah kombinasi Tafsir Adabi Al-Ijtima’i dan .Yang pertama yaitu tafsir Adabi Al-ijtima’i ilah tafsir corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi ketelitian nash-nash al-Qur’an, kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.Sehingga tampak kepada kita amat menyentuh hatinya penafsiran beliau, beliau menungkapkannya dalam bahasa yang indah dan enak dibaca oleh semua orang; sehingga baik pembaca, maupun pendengarnya tidak merasa bosan mengikutinya.

D.Contoh Penafsiran
Sebagaimana yang kemarin ramai diperbincangkan dan diperdebatkan tentang hukum seorang muslim dalam memilih pemimpin.yaitu  QS al-Maidah:51 dengan kata-kata yang tegas beliau menjelaskan dalam tafsirnya: “Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.” (pangkal ayat 51).
“Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut…”
Buya Hamka menyatakan bahwa ayat ini adalah tuntutan syari’at atas setiap orang beriman untuk memperhatikan soal kepemimpinan. Syari’at melarang atas setiap orang beriman untuk memilih Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.

E.Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Al-Azhar
Unsur kelebihan yang terdapat dalam tafsir al-Azhar karya Hamka diantaranya adalah: Dalam penyajiannya Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah; seperti ketika menafsirkan lafad “Allah” ia mengaikatkan dengan sejarah Melayu dengan mengutip sebuah tuisan kelasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis pada tahun 1303.atau peristiwa-peristiwa kontemporen. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada abad ke-20.
     Menurut penelitian yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir yang ditulis oleh Hamka mempunyai kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta  penjelasan dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks. Disamping itu semua, tafsir ini delengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.
   Sedangkan menurut pandangan penulis kelebihan tafsir ini adalah Berbahasa Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh bangsa Indonesia yang umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.dan cara penyampaian beliau lebih banyak menggunakan bahasa yang mudah difahami oleh kaum biasa (awam) .  
       Adapun diantara kekurangan dari tafsir al-Azhar adalah pada usaha penterjemahan ayat. Buya Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah.karena ada pendapat yang mengatakan bahwa terjemahan ayat-ayat al-Qur’an secara harfiah itu hukumnya haram sebagaimana yang disebutkan oleh syekh Manna’ Khalil al-Qattan dalam kitab beliau Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an

Komentar

Postingan Populer